Rumoh Geudong: Dari Saksi Bisu Kekerasan hingga Simbol Perjuangan Pemulihan Hak Korban

Rumoh Geudong di Aceh berdiri sebagai saksi bisu kekerasan masa lalu, sebuah bangunan yang menyimpan kisah pilu pelanggaran hak asasi manusia berat. Dulunya pos militer, tempat ini menjadi lokasi penyiksaan dan kekejaman selama konflik bersenjata Aceh. Kini, ia bertransformasi menjadi simbol perjuangan panjang para korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan martabat.

Sejarah Rumoh Geudong sangat kelam. Selama Operasi Jaring Merah pada akhir 1980-an hingga 1998, bangunan ini berfungsi sebagai markas militer yang ditakuti. Banyak warga sipil Aceh yang ditangkap, diinterogasi, dan disiksa di dalamnya, meninggalkan trauma mendalam yang masih menghantui hingga kini. Kisah-kisah horor dari tempat ini menyebar luas di kalangan masyarakat.

Setelah reformasi 1998 dan berakhirnya status Daerah Operasi Militer (DOM), masyarakat Aceh mulai menyuarakan tuntutan untuk pengungkapan kebenaran dan keadilan. Rumoh Geudong pun menjadi salah satu fokus utama dalam narasi perjuangan korban, merepresentasikan penderitaan kolektif dan kebutuhan mendesak akan pemulihan.

Pemerintah Indonesia, melalui berbagai upaya, kini mengakui Rumoh Geudong sebagai salah satu lokasi peristiwa pelanggaran HAM berat yang harus diselesaikan secara non-yudisial. Pengakuan ini adalah langkah penting menuju pemulihan hak-hak korban, meskipun jalan menuju keadilan penuh masih panjang dan berliku.

Transformasi Rumoh Geudong dari tempat keji menjadi monumen perdamaian dan pusat pemulihan merupakan harapan baru. Pemerintah daerah dan masyarakat sipil berupaya menjadikannya situs pembelajaran tentang pentingnya rekonsiliasi, pencegahan kekerasan berulang, dan penegakan HAM untuk masa depan Aceh yang lebih baik.

Proses pemulihan korban di sekitar Rumoh Geudong melibatkan berbagai aspek, termasuk rehabilitasi fisik dan psikologis, kompensasi, serta upaya untuk memastikan non-pengulangan. Ini adalah bagian dari janji negara untuk menyembuhkan luka masa lalu dan memastikan bahwa kekejaman serupa tidak akan terulang lagi di masa depan.

Upaya menjadikan rumah ini sebagai simbol perjuangan pemulihan hak korban juga melibatkan pendidikan publik. Anak-anak muda dan generasi mendatang perlu memahami sejarah kelam ini agar dapat membangun masa depan yang lebih adil dan damai, berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia.