Peta Kontroversial 1907: Mengapa Klaim Wilayah Thailand-Kamboja Tak Kunjung Usai?

Sengketa wilayah antara Thailand dan Kamboja, khususnya terkait kuil Preah Vihear, berakar kuat pada peta kontroversial yang dibuat pada tahun 1907. Peta ini, yang disusun oleh Prancis (saat itu penguasa Kamboja), menjadi titik fokus perselisihan berabad-abad. Hingga kini, interpretasi berbeda atas garis batas yang ditarik dalam peta tersebut terus memicu ketegangan.

Kuil Preah Vihear, sebuah situs warisan dunia UNESCO, terletak di puncak tebing yang menghadap Kamboja. Namun, akses termudah justru dari wilayah Thailand. Hal ini memperkeruh masalah, membuat kedua belah pihak merasa memiliki klaim kuat atas area sekitarnya.

Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa kuil Preah Vihear berada di wilayah Kamboja. Keputusan ini didasarkan pada peta kontroversial 1907 yang menempatkan kuil di sisi Kamboja dari garis batas yang digambar oleh komisi delimitasi Prancis-Siam.

Meskipun ada putusan ICJ, Thailand tidak pernah sepenuhnya menerima garis batas yang digambarkan dalam peta 1907. Mereka berargumen bahwa garis tersebut tidak sesuai dengan topografi alami dan prinsip aliran air (watershed principle) yang seharusnya menjadi dasar perbatasan.

Thailand mengklaim bahwa peta tersebut dibuat secara sepihak dan tidak mencerminkan kesepakatan yang adil. Mereka merasa dirugikan karena peta itu dianggap “mencuri” wilayah mereka, khususnya area di sekitar kuil yang memiliki nilai historis dan strategis.

Di sisi lain, Kamboja berpegang teguh pada keputusan ICJ dan validitas peta kontroversial 1907 sebagai bukti sah kepemilikan wilayah kuil. Bagi Kamboja, putusan pengadilan internasional adalah final dan mengikat.

Sengketa ini bukan hanya tentang sebidang tanah, melainkan juga tentang identitas nasional dan warisan budaya bagi kedua negara. Kuil Preah Vihear adalah simbol kebanggaan bagi Kamboja, sementara Thailand melihatnya sebagai bagian dari sejarah mereka.

Ketegangan seringkali meningkat menjadi bentrokan bersenjata di sekitar wilayah perbatasan, menyebabkan korban jiwa dan kerusakan. Meskipun ada upaya dialog, solusi permanen tampaknya sulit dicapai karena perbedaan interpretasi historis dan hukum.

Peran pihak ketiga, seperti ASEAN atau PBB, seringkali diperlukan untuk mediasi. Namun, kompleksitas historis dan emosi nasionalisme yang kuat membuat penyelesaian menjadi sangat rumit, bahkan dengan bantuan internasional.